WartaDesaku.id — Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Ruang Rapat Mataram, Lantai 2 Gedung B DPD Republik Indonesia, pada hari Rabu, tanggal 22 Januari 2025.
Dalam RDPU tersebut, BULD DPD Republik Indonesia menghadirkan narasumber yakni Sutoro Eko Yunanto yang merupakan Pakar Pemerintahan Desa dari Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa. Kemudian, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Desa Bersatu (Muhammad Asri Anas), Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Devi Suhartoni), dan Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia, Sarman Simanjorang.
Ketua BULD DPD Republik Indonesia, Stefanus B.A.N. Liow, yang didampingi oleh Wakil Ketua BULD DPD yakni Abdul Hamid, memimpin RDPU tersebut. Ia pun menegaskan bahwa tugas dari BULD DPD yakni untuk memantau dan mengevaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) dan Peraturan Daerah (Perda) guna harmonisasi regulasi pusat dan daerah.
Selain itu, juga bertujuan untuk memastikan bahwa daerah telah sejalan dengan pusat, dan sebaliknya regulasi pusat juga memperhatikan aspirasi daerah. Dimana dalam tahun sidang ini, BULD DPD Republik Indonesia fokus kepada Ranperda dan Perda yang mengatur tata kelola Pemerintahan Desa.
Pakar Pemerintahan Desa dari Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa, Sutoro Eko Yunanto, menyampaikan bahwa dalam pelaksanaannya selam dua dekade terakhir, Undang-Undang Desa mengalami reduksi dan distorsi.
“Dalam Undang-Undang Desa, hanya satul hal dijalankan murni dan konsekuen, yaitu Pemilihan Kepala Daerah. Sisanya amburadul. Undang-Undang Desa mengalami reduksi, distorsi, tidak terjadi koherensi, konsistensi. Supradesa memajukan, tetapi melemahkan. Membangun, tetapi merusak.” katanya.
Ia menjelaskan, reduksi dan distorsi pelaksanaan Undang-Undang Desa terjadi karena Undang-Undang tersebut hanya dimaknai sebagai Dana Desa. “Akibatnya, pejabat desa cinta uang, bukan rakyat. Dana Desa menjadi program yang ditentukan dan ditarget Jakarta. Kematian Undang-Undang Desa, di situ. Suara pemangku desa membahana di Senayan, tetapi tidak direspon dengan baik. Era sekarang, beda dengan era tahun 2012-2013. Semangat era dulu ialah memuliakan desa.” tuturnya.
Selain itu, Undang-Undang Desa menggunakan asas rekognisi, tetapi dilaksanakan dengan asas desentralisasi. Terlalu banyak delegasi pengaturan dalam Perda atau Peraturan Bupati (Perbup) yang justru menghilangkan semangat pengakuan. Undang-Undang Desa diatur peraturan pemerintah, peraturan pemerintah diatur peraturan menteri, peraturan menteri diatur Perda atau Pergub. “Dari rezim rekognisi ke rezim administrasi. Aturan rezim administrasi, atas nama kemajuan, justru merusak tatanan sosial dan kearifan lokal.” tegasnya.
Sutoro Eko Yunanto menilai, karena kuasa atas desa, desa dijadikan obyek. Sehingga, perkembangan desa tidak sesuai nilai dan semangat Undang-Undang Desa. Desa dihadapkan dengan pasal, ayat, syarat, dan prosedur dalam regulasi. Perda atau Perbup dihadapkan dengan desa. Dana Desa diberikan kepada desa, tidak atas dasar keadilan dan kepercayaan kepada desa. “Ungkapan bupati, otonomi berhenti di tangan saya. Tidak ada otonomi desa”, demikian tambahnya.
“Pendekatannya teknokratis. UU Desa diatur peraturan menteri, peraturan daerah, peraturan bupati. Semangatnya hanya pasal, ayat, syarat, dan prosedur dalam Perda atau Perbup. Biasanya copy-paste. Jika asas rekognisi, salurannya langung dari pusat ke desa.” ucapnya.
Dirinya pun menjelaskan, kabupaten dan desa adalah organisme. Hubungan keduanya dalam bentang sejarah yang lama. Sayangnya, banyak kabupaten menganggap desa tidak sebagai organisme, tetapi dianggap sebagai pihak lain. Dalam hal kepentingan supradesa, kabupaten cenderung memperalat desa. Dalam hal kepentingan desa, kabupaten selalu membatasi dan menghambat desa, serta mengatur dan mengawasi desa.
Sementara itu, Devi Suhartoni yang merupakan Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia, membenarkan pernyataan Sutoro Eko Yunanto. Karena itu, Undang-Undang Desa membutuhkan penyempurnaan. Perumusan Undang-Undang Desa jangan dipukul rata di daerah kepulauan dan daerah pegunungan. Misalnya, dalam pemerintahan desa terjadi tumpang tindih antara Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri.
Direktur Eksekutif APKASI, Sarman Simanjorang, menjelaskan, pemerintahan desa yang mirip negara kecil, karena kepala desa dipilih rakyat dan desa memiliki perangkat dan menyelenggarakan perencanaan dan anggaran. Maka, karena visi dan misi bupati harus selaras dengan visi misi kepala desa, dibutuhkan harmonisasi pelaksanaan teknis, melalui Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) desa yang sejalan dengan Musrenbang kabupaten.
Ketua Umum DPP Desa Bersatu, Muhammad Asri Anas, merekomendasikan harmonisasi kebijakan, karena diperlukan sinkronisasi antara program pemerintah pusat dengan kebutuhan desa, khususnya penggunaan Dana Desa. Kemudian, diperlukan ruang dialog pemerintah dengan perwakilan desa, untuk memastikan kebijakan yang dibuat mencerminkan apsirasi masyarakat desa.
“Bicara desa tidak boleh sepenggal. Sulit menyelesaikan masalah desa dalam satu dasawarsa. Apalagi jumlah desa 75.259 desa, termasuk perangkat desa. Kalau perspektifnya otonomi daerah, tidak ketemu. Maka kami tuntut revisi UU Desa. UU Desa perlu dievaluasi agar penataan desa efektif.” ucapnya.
Sejumlah Anggota BULD DPD Republik Indonesia memberikan tanggapan, seperti Abraham Liyanto (senator asal Nusa Tenggara Timur), Yance Samonsabra (senator asal Papua Barat), Mirah Midadan Fahmid (senator asal Nusa Tenggara Barat), Yashinta Sekarwangi Mega (senator asal Daerah Istimewa Yogyakarta), Ratu Tenny Leriva (senator asal Sumatera Selatan), Syarif Mbuinga (senator asal Gorontalo), dan Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik (senator asal Bali).
Yance Samonsabra menyoroti pengelolaan Dana Desa yang kurang transparan dan akuntabel. Padahal, dulu dananya kecil tapi buktinya ada, dibanding kini yang dananya besar tapi buktinya tidak ada. Mirah Midadan Fahmid mendorong penguatan BPD sebagai perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa agar terjadi checks and balances tata kelola pemerintahan desa.
“Saatnya kita memiliki legasi. Desa kita majukan. Desa jangan dijadikan obyek. Kalau mencari kesalahan, pasti ketemu. Berganti rezim, topik yang sama terbawa terus.” pungkas Syarif Mbuinga. (dpd)