wartadesaku.id – Dugaan korupsi dalam proyek pengadaan peta desa tahun anggaran 2023 di Kabupaten Lahat akhirnya menemui titik terang.
Kejaksaan Negeri (Kejari) Lahat secara resmi menetapkan dua orang tersangka dalam kasus ini: Darul Efendi, mantan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMDes) Lahat, serta Angga Muharam, Direktur CV Citra Data Indonesia, perusahaan pelaksana kegiatan.
Penetapan tersangka dilakukan setelah Kejari Lahat melakukan penyelidikan intensif sejak 9 Desember 2024, termasuk pemeriksaan terhadap lebih dari 300 saksi dari berbagai unsur.
Tim penyidik juga telah melakukan penggeledahan untuk mengumpulkan dokumen dan bukti-bukti pendukung terkait praktik korupsi dalam proyek yang semestinya memberikan manfaat bagi 244 desa di Kabupaten Lahat.
Dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Kejari Lahat, Senin malam (14/4/2025) pukul 21.20 WIB, Kepala Kejaksaan Negeri Lahat, Toto Roedianto, SH, MH, menyampaikan bahwa proyek pembuatan peta desa ini tidak hanya bermasalah dari sisi administratif, tetapi juga mengandung unsur gratifikasi dan markup anggaran yang merugikan keuangan negara.
Modus Korupsi: Setiap Desa Dikenai Biaya Rp 35 Juta
Menurut Toto, dalam pelaksanaan proyek tersebut, seluruh desa di Kabupaten Lahat—sebanyak 244 desa—diwajibkan menyetor dana sebesar Rp 35.200.000 per desa kepada DPMDes. Dana itu konon digunakan untuk membiayai kegiatan pembuatan peta desa oleh pihak ketiga, yakni CV Citra Data Indonesia. Namun, berdasarkan hasil pemeriksaan, proyek tersebut ternyata tidak dikerjakan sesuai dengan Surat Perjanjian Kerja (SPK) antara pihak desa dan perusahaan.
Lebih parahnya lagi, hingga akhir tahun 2023, peta desa yang dijanjikan tak kunjung rampung di sebagian besar desa. Bahkan, sejumlah desa hingga kini belum menerima hasil pekerjaan yang seharusnya telah diselesaikan oleh perusahaan milik tersangka Angga Muharam.
“Secara teknis, kegiatan ini telah melanggar Permendagri No. 46 Tahun 2016 yang mengatur tata cara penyusunan dan pemutakhiran peta desa, serta bertentangan dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa pemerintah,” tegas Toto dalam keterangannya.
Bukti Gratifikasi: Rp 50 Juta untuk Meloloskan Proyek
Dari hasil pengusutan, ditemukan fakta bahwa proyek pembuatan peta desa ini bukan sekadar proyek gagal. Kejari Lahat juga mengungkap adanya praktek gratifikasi sebesar Rp 50 Juta yang diberikan oleh Angga Muharam kepada Darul Efendi. Uang tersebut diduga menjadi semacam “pelicin” agar proyek pengadaan peta desa diberikan sepenuhnya kepada CV Citra Data Indonesia.
“Gratifikasi senilai Rp 50 juta tersebut hanya untuk tersangka Darul Efendi. Dalam akta pendirian perusahaan diketahui bahwa CV Citra Data Indonesia baru berdiri tahun 2022, yang menunjukkan bahwa proyek ini sudah direncanakan sejak awal,” ungkap Toto didampingi Kepala Seksi Intelijen Kejari Lahat, Rio Purnama, SH, MH.
Keuangan Negara Dirugikan, Rp 1,2 Miliar Diselamatkan
Dari proses penindakan yang dilakukan Kejari Lahat, negara berhasil diselamatkan dari potensi kerugian sebesar Rp 1.266.230.900. Angka tersebut berasal dari dana yang berhasil diamankan dari penyalahgunaan anggaran. Meski demikian, Kejari Lahat masih menunggu hasil resmi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sumsel untuk menetapkan total kerugian negara secara pasti.
“Kedua tersangka telah resmi ditahan selama 20 hari ke depan guna kepentingan penyidikan lebih lanjut,” ujar Toto.
Potensi Tersangka Baru, Penyelidikan Belum Berakhir
Meski baru dua nama yang ditetapkan sebagai tersangka, Kejari Lahat memastikan bahwa penyelidikan akan terus berlanjut. Toto Roedianto menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen untuk menelusuri lebih dalam siapa saja yang terlibat dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan proyek bermasalah ini.
“Kita akan terus menggali siapa pihak yang berperan menentukan angka Rp 35.200.000 per desa itu. Ini adalah bagian dari strategi penyidikan kita. Jika ditemukan bukti kuat, tentu akan ada penetapan tersangka lain,” tandasnya.
Skandal yang Menjadi Peringatan
Kasus ini menjadi cerminan nyata bagaimana proyek-proyek yang seharusnya berdampak langsung pada masyarakat desa justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi oknum tertentu. Dana desa yang mestinya digunakan untuk pembangunan dan pelayanan masyarakat, justru dijadikan ladang korupsi dengan modus kegiatan fiktif dan penggelembungan anggaran.
Kejaksaan Negeri Lahat diharapkan mampu menuntaskan kasus ini hingga ke akar-akarnya, serta menjadi peringatan keras bagi pejabat publik dan rekanan swasta agar tidak bermain-main dengan dana rakyat. (ril)